Tuesday 6 September 2022

Berkebun 2 Bulan di Bukit Mayo, Melihat Indonesia dari kacamata Katulistiwa.

By. Albar Rahman 

Entah dari mana saya memulai tulisan sederhana ini. Mungkin karna sudah lama tidak menulis dan belakanagan hanya berkutat dengan tugas-tugas kuliah harus berbahasa baku, jadi maap jika ada kesan kaku nantinya hehehe. kok kerasa pembukanya jadi serius amat. Lanjut, esay harian kali saya hanya ingin berbagi tentang perjalanan singkat selama dua bulan dengan visi misi ingin menanam pohon saja. Di sebuah bukit yang oleh masyarakat kaliamantan utara tepatnya di Nunukan Kec. Seimanggaris dikenal sebagai bukit Mayo. Bukit ini ketinggiannya hampir 1000 mdpl jika di Jawa ketinggiannya hampir seperti wonosobo yang dijuluki sebagai negri di atas awan. Sedikit gambaran tentang Bukit dingin di kalimantan ini, dan tentunya memiliki banyak sumber air karna hutan-hutannya masih sangat melimpah. Bukit ini sudah menjadi jalan poros provinsi dari Kalimantan Utara menuju Kalimantan Timur melewati Sebuku, Malinau, Sekata, Berau, Samarinda hingga Balikpapan. Jalurnya panjang dan tentunya Kalimantan belum memiliki jalur kereta api seperti pulau jawa yang terhubung satu sama lainnya. 
 
Kembali, dua bulan di bukit mayo ini berkesan karena banyak hal yang ditemukan terutama melihat hutan kalimantan ternyata indah, kekayaan alamnya, dan semua prahara tentang khatulistiwa yang hijau itu ber”surban”kan awan-awan embun yang melilit hijaunya flora. Faunanya walau terancam karena hutan industri dan tambang di sana, saya masih liat au-au-au penduduk pendatang sekitatar menyebutnya sejenis orang hutan yang postur tubuhnya lebih sedikit kecil. Para pendatang asyik berkebun, dan mayoritas menjadikan kebun sawit sebagai komoditas utama karena adanya kilang sawit di sekitaran.

Sejatinya potensinya luar biasa, jika ada pengelolaan secara baik dengan bukit yang memiliki ketinggian yang memadai, saya pikir ini baik untuk tanaman lainnya tentunya. Salah satu contoh di belahan lainnya dari pulau Kalimantan Utara ini di sana wilahnya Tanjung Selor yang  tengah dipersiapak terus pembangunan sebab dijadikan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Utara. Kita balik, Tanjung Selor ini misalnya tidak bergantung pada satu komoditas, di sana ada petani pisang namanya pak. Mansur memiliki 100 hektar tanah dan setiap harinya dia memiliki omset puluhan juta. Kenapa tidak di bukit Mayo ini dengan awan dan kabut serta mineral yang melimpah tidak membidik alternatif penghasilan lain yang jauh lebih besar dampaknya terhadap melestarikan lingkungan terutama mata airnya dengan menanam buah-buahan misalnya dan tentunya buah dengan segala manfaatnya hemat saya akan jauh lebih berharga untuk jangka panjangnya seiring bertambahnya populasi manusia yang silih berganti berdatangan baik dari negeri sebrang alias Malaysia dan pendatang dari pulau lain selaian Kalimantan. 

Anggap aja urain serius di atas bagian dari bentuk peduli pada kalimantan yang menyimpan banyak kekayaan. Kekayaan alam tapi sedang "tertidur" meyiapkan kekayaan pikiran manusianya. Pada perjalanan 2 bulan kali ini setidaknya saya mengilhami satu spirit untuk terus belajar. Kelak kita berjumpa lagi diperjumpaan paling indah di mana senja dan dewasanya diri jadi satu. Dimana kita mampu memberi setelah lama berkelana dalam belajar. 

sekilas perjalanan singkat saya semoga memberi ruang di imajinasi bahwa sudut negri ada setitik cerita oleh sang putra yang mencintai ibu pertiwi setulus hati. Sampai ketemu di lain kesempatan

No comments:

Post a Comment